Minggu, 31 Juli 2011

puisi khalil gibran part 11-15

NYANYIAN SUKMA


Di dasar relung jiwaku
Bergema nyanyian tanpa kata; sebuah lagu
yang bernafas di dalam benih hatiku,
Yang tiada dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ; ia meneguk rasa kasihku
dalam jubah yg tipis kainnya, dan mengalirkan sayang,
Namun bukan menyentuh bibirku.

Betapa dapat aku mendesahkannya?
Aku bimbang dia mungkin berbaur dengan kerajaan fana
Kepada siapa aku akan menyanyikannya?

Dia tersimpan dalam relung sukmaku
Karena aku risau, dia akan terhempas
Di telinga pendengaran yang keras.

Apabila kutatap penglihatan batinku
Nampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,
Dan apabila kusentuh ujung jemariku
Terasa getaran kehadirannya.

Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,
Bagai danau tenang yang memantulkan cahaya
bintang-bintang bergemerlapan.
Air mataku menandai sendu
Bagai titik-titik embun syahdu
Yang membongkarkan rahasia mawar layu.

Lagu itu digubah oleh renungan,
Dan dikumandangkan oleh kesunyian,
Dan disingkiri oleh kebisingan,
Dan dilipat oleh kebenaran,
Dan diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan,
Dan difahami oleh cinta,
Dan disembunyikan oleh kesadaran siang
Dan dinyanyikan oleh sukma malam.

Lagu itu lagu kasih-sayang,
Gerangan 'Cain' atau 'Esau' manakah
Yang mampu membawakannya berkumandang?

Nyanyian itu lebih semerbak wangi daripada melati:
Suara manakah yang dapat menangkapnya?
Kidung itu tersembunyi bagai rahsaia perawan suci,
Getar nada mana yang mampu menggoyahnya?

Siapa berani menyatukan debur ombak samudra
dengan kicau bening burung malam?
Siapa yang berani membandingkan deru alam,
Dengan desah bayi yang nyenyak di buaian?

Siapa berani memecah sunyi
Dan lantang menuturkan bisikan sanubari
Yang hanya terungkap oleh hati?
Insan mana yang berani
melagukan kidung suci Tuhan?
(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman) 


MIMPI

Kala malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi, aku bangun dan berjalan ke laut, "Laut tidak pernah tidur, dan dalam keterjagaannya itu laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.",

Ketika aku sampai di pantai, kabut dari gunung menjuntaikan kakinya seperti selembar jilbab yang menghiasi wajah seorang gadis. Aku melihat ombak yang berdeburan. Aku mendengar puji-pujiannya kepada Tuhan dan bermeditasi di atas kekuatan abadi yang tersembunyi di dalam ombak-ombak itu - kekuatan yang lari bersama angin, mendaki gunung, tersenyum lewat bibir sang mawar dan menyanyi dengan desiran air yang mengalir di parit-parit.

Lalu aku melihat tiga Putera Kegelapan duduk di atas sebongkah batu. Aku menghampirinya seolah-olah ada kekuatan yang menarikku tanpa aku dapat melawannya.

Aku berhenti beberapa langkah dari Putera Kegelapan itu seakan-akan ada tenaga magis yang menahanku. Saat itu, salah satunya berdiri dan dengan suara yang seolah berasal dari dalam laut ia berkata:
"Hidup tanpa cinta ibarat pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Dan cinta tanpa keindahan seperti bunga tanpa aroma semerbak dan seperti buah tanpa biji. Hidup, cinta dan keindahan adalah tiga dalam satu, yang tidak dapat dipisahkan ataupun diubah."

Putera kedua berkata dengan suara bergema seperti air terjun,"Hidup tanpa berjuang seperti empat musim yang kehilangan musim bunganya. Dan perjuangan tanpa hak seperti padang pasir yang tandus. Hidup, perjuangan dan hak adalah tiga dalam satu yang tidak dapat dipisahkan ataupun diubah."

Kemudian Putera ketiga membuka mulutnya seperti dentuman halilintar :

"Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa akal seperti roh yang kebingungan. Hidup, kebebasan dan akal adalah tiga dalam satu, abadi dan tidak pernah sirna."
Selanjutnya ketiga-tiganya berdiri dan berkata dengan suara yang gamang sekali:

'Itulah anak-anak cinta,
Buah dari perjuangan,
Akibat dari kebebasan,
Tiga manifestasi Tuhan,
Dan Tuhan adalah ungkapan
dari alam yang bijaksana.'

Saat itu diam sedih , hanya gemersik sayap-sayap yang tak nampak dan getaran tubuh-tubuh halus yang terus-menerus.

Aku menutup mata dan mendengar gema yang baru saja berlalu. Ketika aku membuka mataku, aku tidak lagi melihat Putera-Putera Kegelapan itu, hanya laut yang dipeluk halimunan. Aku duduk, tidak memandang apa-apa pun kecuali asap dupa yang menggulung ke syurga.


KISAHKU

Dengarkan kisahku... .
Dengarkan, tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku: karena belas kasihan menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..

Jika kita mencintai, cinta kita bukan dari diri kita, juga bukan untuk diri kita. Jika kita bergembira, kegembiraan kita bukan berada dalam diri kita, tapi dalam Hidup itu sendiri. Jika kita menderita, kesakitan kita tidak terletak pada luka kita, tapi dalam hati nurani alam.

Jangan kau anggap bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama atau rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi.

Wanita yang menghiasi tingkah lakunya dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran, yang terbuka namun rahsia; ia hanya dapat dipahami melalui cinta, hanya dapat disentuh dengan kebaikan; dan ketika kita mencoba untuk menggambarkannya ia menghilang bagai segumpal uap.


KEKASIHKU LAYLA

Kemarilah, kekasihku.
Kemarilah Layla, dan jangan tinggalkan aku.
Kehidupan lebih lemah daripada kematian, tetapi kematian lebih lemah daripada cinta... 

Engkau telah membebaskanku, Layla, dari siksaan gelak tawa dan pahitnya anggur itu.
Izinkan aku mencium tanganmu, tangan yang telah memutuskan rantai-rantaiku. 

Ciumlah bibirku, ciumlah bibir yang telah mencoba untuk membohongi dan yang telah menyelimuti rahasia-rahasia hatiku. 
Tutuplah mataku yang meredup ini dengan jari-jemarimu yang berlumuran darah. 
Ketika jiwaku melayang ke angkasa, taruhlah pisau itu di tangan kananku dan katakan pada mereka bahwa aku telah bunuh diri karena putus asa dan cemburu. 
Aku hanya mencintaimu, Layla, dan bukan yang lain, aku berpikir bahwa tadi lebih baik bagiku untuk mengorbankan hatiku, kebahagiaanku, kehidupanku daripada melarikan diri bersamamu pada malam pernikahanmu.
Ciumlah aku, kekasih jiwaku... sebelum orang-orang melihat tubuhku...
Ciumlah aku... ciumlah, Layla...


KEHIDUPAN SEBUAH CINTA

MUSIM BUNGA
Marilah, sayang, mari berjalan menjelajahi perbukitan,
Salju telah cair dan Kehidupan telah terjaga dari lelapnya
dan kini mengembara menyusuri pegunungan dan lembah-lembah,
Mari kita ikut jejak-jejak Musim Bunga, yang melampaui
Ladang-ladang jauh, dan mendaki puncak-puncak perbukitan
'Tuk menadah ilham dari  aras ketinggian,
Di atas hamparan ngarai nan sejuk kehijauan.

Fajar Musim Bunga telah mengeluarkan pakaiannya
dari lipatan simpanan, dan menyangkutnya
pada pohon pic dan  sitrus , dan mereka kelihatan bagai pengantin dalam upacara  tradisi Malam Kedre..

Sulur-sulur daun anggur saling berpelukan bagai kekasih
Air kali  pun lincah berlompatan menari ria,
Di sela-sela batuan, menyanyikan lagu riang.

Dan bunga-bunga  bermekaran dari jantung alam,
Laksana buih-buih bersemburan, dari kalbu lautan

Kemarilah, sayang: mari meneguk sisa air mata
musim dingin, dari gelas kelopak bunga lili,
Dan menenangkan jiwa, dengan gerimis nada-nada
Curahan simfoni burung-burung yang berkicauan
dan berkelana riang dalam bayu mengasyikkan

Mari duduk di batu besar itu, tempat bunga violet
berteduh dalam persembunyian, dan meniru
Kemanisan mereka dalam pertukaran kasih rindu.

MUSIM PANAS
Mari pergi ke ladang, kekasihku, karena
Musim menuai telah tiba, dan cahaya surya
Telah memanggang gandum kekuning-kekuningan.

Mari kita mengerjakan hasil bumi, sebagaimana semangat kegembiraan menyuburkan butir gandum
Dari benih cinta-kasih, yang tertanam dalam sanubari.
Mari mengisi karung  kita dengan limpahan hasil bumi
bagai kehidupan mengisi penuh rongga hati,
Dengan harta kekayaan tak terperi,
Mari, jadikan bunga-bunga alas tilam kita
Dan langit biru selimut  kita
Sandarkan kepala di bantal harum jerami,
Mari kita berehat setelah bekerja sepanjang hari,
Sambil mendengar bisik gemercik air sungai yang menyanyi.


MUSIM GUGUR
kita pergi memetik anggur di perkebunan
Dan memerah sari buah segar
Dan menyimpannya di jambangan tua
Sebagaimana jiwa menyimpan ilmu pengetahuan
Abad-abad lalu, dalam gedung keabadian.

Dan sekarang mari pulang, karena sang bayu telah
Menerbangkan daun-daun kuning dan memutarkan  bunga-bunga layu
Yang membisikkan dendang kematian pada Musim Gugur
Mari pulang, kekasihku abadi, karena burung-burung
Telah terbang bagi perjalanan migrasi menuju kehangatan
Meninggalkan padang yang dingin dan kesepian.
Bunga mirtel dan melati pun telah lama
Mengeringkan air matanya.

Mari kembali, sebab anak sungai yang sayu
Telah kehabisan lagu, dan sumber air yang lincah
Telah membisu, enggan mengucapkan kata perpisahan.
Sedang bukit-bukit tua telah mulai melipat
pakaiannya yang berwarna-warni.

Mari, kekasihku; Alam telah letih,
Ia bersemangat melambaikan selamat tinggal
Dengan dendangan sayup dan ketenangan.

MUSIM DINGIN
Dekatlah ke mari,oh teman sepanjang hidupku,
Dekatlah padaku, dan jangan biarkan sentuhan Musim Dingin,
Mencelah di antara kita. Duduklah disampingku di depan tungku,
Sebab nyalaan api adalah satu-satunya nyawa musim ini.

Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu,
Yang jauh lebih besar daripada unsur Alam yang menggelodak
Di luar pintu.
Palanglah pintu dan patri engselnya,
Sebab wajah angkasa menekan semangatku
Dan pemandangan ladang-ladang salju
Menimbulkan tangis dalam jiwaku.

Tuangkan minyak ke dalam lampu, jangan biarkan ia pudar,
Letakkan dekat wajahmu, supaya aku dapat membaca dalam tangis
Apa yang telah ditulis pada wajahmu
Tentang kehidupan kau bersamaku..
Berilah aku anggur Musim Gugur, dan mari minum bersama
Sambil mendendangkan lagu kenangan pada gairah Musim Bunga
Dan layanan hangat Musim Panas, serta anugerah
tuaian  dari Musim Gugur.

Dekatlah padaku, oh kekasih jiwaku; api mendingin dalam tungku,
Menyelinap padam nyalanya satu-satu, dari timbunan abu
Dekaplah aku, sebab aku ngeri akan kesepian.
Lampu meredup, dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup.
Mari kita saling berpandangan, sebelum mata tertutup.

Cari aku dengan rabaan, temui aku dalam pelukan
Lalu biarkan kabut malam merangkul jiwa kita menjadi satu
Kecuplah aku, kekasihku, karena Musim Dingin,
Telah merenggut segala, kecuali bibir yang berkata:
Engkau dalam dekapan, oh Kekasihku Abadi,
Betapa dalam dan kuat samudera lelap,
Dan betapa cepatnya subuh...
(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar